Rabu, 30 Maret 2011 | By: Dahlia"khamza Az Zahra"

Apakah Khilafah Bukan Format yang Tepat untuk Indonesia?

Dalam sebuah acara diskusi dengan tema : “Mencari Format Terbaik Mensejahterakan Indonesia”, saat sesi tanya jawab terjadi dialog sebagai berikut ;
Peserta diskusi : Saudara moderator, saudara moderator…., mohon saya di beri kesempatan menanggapi pembicara !
Moderator: Silahkan pak…, apa tanggapannya ?
Peserta diskusi : Saya heran dengan adik pembicara yang satu itu…, maaf saya panggil adik karena usia Anda jauh di bawah usia saya.
Pertanyaan saya…, mengapa Anda ngotot sekali dengan ide Khilafah sebagai format yang pas bagi Indonesia ? Padahal Indonesia ini sistemnya demokrasi dan asasnya Pancasila, Demokrasi Pancasila sudah final dik…, sebagai kesepakatan bersama seluruh bangsa Indonesia.
Pembicara : Saya sebenarnya bukan bermaksud ngotot pak, tetapi saya memiliki keyakinan bahwa sistem khilafah adalah sistem terbaik dan saya berusaha mengalirkan keyakinan saya pada forum diskusi ini.  Sepanjang penjelasan saya tadi saya juga sudah sampaikan argumentasinya.
Adapun pernyataan Bapak, bahwa sistem yang ada sekarang sudah final…, menurut pandangan saya pernyataan seperti itu tidak fair ! Bagaimana kita sepakat sudah final sementara banyak sekali saudara-saudara kita yang masih terbelenggu dalam kemiskinan, kebodohan dan tidak memiliki akses kepada pelayanan kesehatan. Yang dibutuhkan Indonesia sekarang ini adalah perubahan.
Bagi mereka yang tersejahterakan oleh sistem yang tidak adil ini, inginnya sistem yang ada sekarang sudah final.  Tapi bagaimana dengan mereka yang tertindas dan terpinggirkan ?  Disinilah terlihat pernyataan bahwa sistem sekarang sudah final, sangat tidak fair.

Seputar Khitbah dalam Pandangan Islam

Oleh : Titin Erliyanti, S.Pd.
(Praktisi Pendidikan dan Aktivis Hizbut Tahrir Indonesia)
Di..kedalaman hatiku, tersembunyi harapan yang suci..
Ta..k, perlu engkau menyangsikan..
Le..wat.. kesalihanmu yang terukir menghiasi dirimu,
tak perlu dengan.. kata-kata
Sungguh..hatiku kelu tuk’ mengungkapkan perasaanku..
Namun, penantianmu pada diriku, jangan salahkan..
Kalau memang..kau pilihkan aku, tunggu sampai aku datang..
Nanti kubawa kau pergi ke syurga abadi..
kini belumlah saatnya aku membalas cintamu… nantikan ku..di batas.. waktu..

(Lirik dalam nasyid ‘Nantikanku di batas waktu’ oleh:Ad Coustic)
SyariahPublications.Com — Manusia diciptakan oleh Allah Swt sebagai makhluk yang paling mulia, ia bukanlah sesosok makhluk yang sekedar memiliki jasad/organisme hidup, sehingga kehidupan yang dijalaninya pun bukan sekedar untuk tujuan memperoleh makan, tumbuh, berkembang-biak, lalu mati. Manusia diciptakan ke alam dunia ini disertai pula dengan berbagai potensi kehidupan yang diberikan oleh-Nya. Berbagai potensi kehidupan tersebut harus merupakan sesuatu yang disadari/difikirkan oleh manusia. Diantara potensi kehidupan tersebut adalah berupa naluri-naluri (gharaizh) yang diantaranya pula adalah naluri untuk melestarikan keturunan ataupun tertarik kepada lawan jenis (gharizatu nawu). Naluri inimerupakan dorongan yang muncul pada diri manusia ketika adanya stimulan dari luar. Sebagai contoh, suatu saat seorang ikhwan pernah merasakan perasaan yang ‘berbunga-bunga tidak karuan’ ketika di suatu tempat bertemu dengan seorang akhwat yang menurut penilaiannya, orang tersebut adalah sosok yang ‘special’ sehingga setiap kali berjumpa, memikirkan atau bahkan hanya sekedar mendengar namanya saja, tiba-tiba jantung ini bisa berdebar cepat dan kedua bibirpun akan menggeser menyimpul mesra. Kondisi ini tentunya juga dapat terjadi sebaliknya antara seorang akhwat terhadap seorang ikhwan.

Mempertahankan Keutuhan Keluarga

Semoga Bermanfaat ya..

Oleh : Zulia Ilmawati , S.Psi.

Keluarga sakinah adalah keluarga dengan enam kebahagiaan yang terlahir dari usaha keras pasangan suami isteri dalam memenuhi semua  hak dan kewajiban, baik  kewajiban perorangan maupun kewajiban bersama. Teramat jelas bagaimana Allah dan RasulNya menuntun kita untuk mencapai tiap kebahagiaan itu. Enam kebahagiaan yang dimaksud adalah Kebahagiaan Finansial, seksual, intelektual, moral, spiritual dan idiologis. Mana dari enam kebahagiaan itu yang utama? Tergantung pada persepsi atau kerangka pandang dan pemahaman pasangan suami isteri. Keluarga Rasulullah dibangun  dalam kerangka perjuangan. Inilah keluarga teladan dengan kebahagiaan ideologis. Tapi berdasarkan riwayat-riwayat yang sangat jelas, Rasul juga mampu menciptakan bagi keluarganya kebahagiaan intelektual, kebahagiaan moral, spiritual, bahkan pula termasuk kebahagiaan seksual. Secara finansial, Rasul memang hidup dalam kesahajaan. Tapi siapa sangka mereka juga ternyata merasakan kebahagiaan finansial. Karena kebahagiaan yang terakhir ini tidak ditentukan oleh jumlah harta yang dimiliki, tapi oleh perasaan qanaah (perasaan cukup) atas rizki yang Allah karuniakan. Ketika kebahagiaan itu tidak dirasakan akibat fungsi keluarga tidak berjalan utuh yang dipicu oleh ketimpangan dalam pemenuhan hak dan kewajiban, maka akan timbul masalah.
Senin, 28 Maret 2011 | By: Dahlia"khamza Az Zahra"

Bacaan Wajib Bagi yang Ingin Berhenti Merokok

semoga bermanfaat...

Banyak orang mengeluhkan betapa sulitnya berhenti rokok, dengan berbagai alasan dan penyebab. Banyak yang bilang telah berusaha dengan susah payah tapi masih belum mampu.


Di mana peran agama dalam kehidupan para perokok tersebut? Bukankah telah jelas apa konsekuensi melanggar hukum Allah? Keberatan apalagi yang mengganjal mereka untuk meninggalkan sesuatu yang telah jelas-jelas

agama melarangnya?

Di Hong Kong, rokok dilarang beriklan baik di media cetak maupun elektronik. Sebaliknya media massa gencar mengiklankan motivasi agar masyarakat berhenti merokok. Bahkan di sebagian besar tempat umum dijadikan area terlarang bagi seseorang untuk merokok. Jika melanggar larangan merokok yang telah ditentukan pemerintah, akan dikenai denda HKD 1.500 atau setara Rp 1.740.000 (dengan kurs saat ini 1 HKD = Rp 1160). Sedangkan di area rumah sakit, sangsi denda lebih berat lagi, HKD 5.000.

KENAPA HARUS MEROKOK?